Selasa, 11 Oktober 2011
Satu nyawa melayang, bagaimana nasib karyawan Freeport selanjutnya?
Tak kurang 12.0000 buruh dan tenaga kontraktor PT Freeport Indonesia (PTFI) lanjut mogok kerja hingga 15 November 2011. Menurut mereka, tawaran dari manajemen PTFI tidak memihak pekerja. Kesepakatan tak jua tercapai.
Puncaknya, sejumlah pekerja Freeport di Timika, Papua, unjuk rasa, Senin (10/10) pagi. Mereka memaksa bertemu pimpinan perusahaan. Buruh berhadap-hadapan dengan aparat dan kerusuhan pun tak terelakkan.
Satu nyawa pun melayang. Petrus Ayaniseba, satu dari sekian buruh Freeport yang menyambangi kantor Freeport tertembak peluru polisi dalam kerusuhan pagi tadi.
"Kami mengiringi jenazah Petrus ke kantor DPRD, kami semua ikut," ujar Juli Parorongan, Juru Bicara Serikat Pekerja PTFI, kepada KONTAN, Senin (10/10).
Sejak mogok massal 15 September lalu pun demonstran tak memperoleh upah dasar. Memang sejumlah pekerja memilih tetap beraktivitas. Tapi itu bukan karena loyalitas melainkan di bawah ancaman. Menurut Juli, tak sedikit orang tua disatroni surat perihal 'kewajiban' bagi putra mereka untuk tetap bekerja.
Menurut Juli, saat ini pekerja dan tenaga kontraktor mendapat upah Rp 3,3 juta sampai Rp 5,5 juta per bulan. Rasa-rasanya sudah pantas menerima upah yang layak. Dalam lembar tuntutannya pekerja meminta upah US$ 17,5 - US$ 44 per jam atau berkisar Rp 158.000 - Rp 387.000. Kalau sehari bekerja 8 jam saja, buruh bisa membawa pulang Rp 1,2 juta - Rp 3,1 juta.
Sekadar catatan, upah minimum Provinsi Papua tahun ini sekitar Rp 1,4 juta. Juli Parorongan, Juru Bicara Serikat Pekerja PTFI mengungkapkan sehari pendapatan Freeport mencapai Rp 230 miliar. "Itu sudah bisa menggaji kami sebulan," katanya.
Ironisnya, tatkala mereka mogok kerja, perusahaan justru mengadakan penerimaan karyawan baru. Yang direkrut pun bukanlah tenaga lokal, melainkan dari Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Bahkan sebagian sudah bekerja. Menurut Juli, ini melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menegaskan pengusaha dilarang menggantikan pekerja yang mogok dengan pekerja lain dari luar.
Manajemen PTFI pun tak mau kalah. Menurut Ramdani Sirait, Juru Bicara PTFI, pihaknya telah menawarkan paket terbaik untuk karyawan nonstaf atau operator lapangan. Perusahaan mengikuti anjuran Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai mediator, yaitu menaikkan upah 25% dalam dua tahun yaitu 31% di tahun pertama dan 20% di tahun kedua.
Kalau pekerja bersikukuh upah dalam dolar per jam, itu tak sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan di Indonesia. Tidak realistis, dan melebihi upah per jam pekerjaan serupa di negara lain.
Riset menunjukkan bahwa gaji penambang di Amerika Utara tahun lalu berkisar US$ 66,432 per jam. Di Indonesia berkisar US$ 4,421-US$ 7,356 per jam.
Gambaran di lembar tawaran terbaru menunjukkan karyawan nonstaf di Divisi Operasi dengan kompetensi dasar menerima Rp 170 juta per tahun. Sesuai dengan hitungan kenaikan menjadi Rp 210 juta di tahun pertama dan Rp 230 juta di tahun kedua.
Adapun karyawan nonstaf berkompetensi master yang memperoleh Rp 235 juta bisa mendapat Rp 285 juta dan Rp 310 juta masing-masing tahun pertama dan kedua. "Ini sudah tawaran paling bagus," kata dia.
Perusahaan menganjurkan pekerja segera kembali. Bukan cuma perusahaan merugi melainkan juga negara. Betapa tidak, penerimaan negara dari Freeport menyentuh US$ 8 juta per hari. Belum lagi dana pengembangan masyarakat Papua sebesar US$ 200.000 per hari. Kalau pekerja mengeluh tidak diupah, itu wajar. Upah tidak dibayar kalau karyawan tidak bekerja.
"Karyawan juga kehilangan mata pencaharian Rp 755.000 setiap hari. Jadi kami anjurkan segeralah kembali bekerja, semua pihak sudah merasakan kerugian," kata Ramdani.
Terkait penerimaan karyawan baru, PTFI mengklaim itu dilatari kebutuhan sekaligus komitmen ekspansi tambang bawah tanah. Untuk itu diperlukan lebih 1.000 tenaga terampil baru. Sejak awal tahun hal itu sudah dilaporkan ke dinas tenaga kerja.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar