Pada tanggal 21 April 1947 pasukan Belanda dengan kekuatan penuh, terdiri dari
Angkatan
Darat, Laut dan Udara melancarkan agresinya dengan menerobos garis
demarkasi atau fixed boundaries Medan Area dengan maksud menghancurkan
pasukan Republik Indonesia yang melingkari kota Medan, terdiri dari
kesatuan-kesatuanTRI (Tentara Republik Indonesia) dan pasukan bersenjata
Laskar Rakyat. Penyerangan yang dilakukan di semua sektor mengerahkan
persenjataan modern yang dimiliki mereka seperti, pesawat pembom dan
pemburu yang diterbangkan dari lapangan udara Polonia Medan, begitu juga
pasukan panser dan pasukan meriam.
Pasukan Republik tidak mampu
menahan serangan tersebut dan berangsur-angsur melakukan pengunduran,
sebahagian ke daerah Aceh, sebahagian ke arah pegunungan di
Langkat dan sebahagian ke Tanah Karo, sementara yang terbanyak menuju
Tapanuli dan daerah Asahan-Labuhan Batu. Dalam menghadapi pasukan
Belanda tersebut pasukan Republik mengalami banyak korban jiwa, terutama
di front Sungai Ular disergap oleh pasukan Belanda yang mendarat dari
Pantai Cermin. Selama sekira 1 bulan pasukan Republik mencoba bertahan
di daerah Pematang Siantar, Simalungun dan Parapat, tetapi kemudian
pasukan ini mengundurkan diri ke daerah Tapanuli Utara melalui Pulau
Samosir dan sebagian mundur ke daerah Tapanuli Tengah dan Tapanuli
Selatan yang kaya akan persediaan beras.
Pencetakan Uang ORITA
Pencetakan Uang ORITA
Residen
Tapanuli Dr Ferdinan LumbanTobing saat itu sangat sibuk mengurus
logistik dan akomodasi untuk menampung pengungsi dari Sumatera Timur
yang diperkirakan sekitar 500.000 jiwa termasuk pasukan bersenjata dari
Medan Area.
Atas persetujuan Pemerintah Pusat, melalui Wakil Presiden
Dr M Hatta, Residen Tapanuli Dr F L Tobing diberikan wewenang untuk
mencetak
uang yang disebut ORITA (Oeang Repoeblik Indonesia Tapanoeli).
Pencetakan uang tersebut sangat membantu untuk mengatasi ekonomi rakyat
dan perbelanjaan pasukan bersenjata yang tumpah ruah ke Tapanuli dari
Medan Area dan Sumatera Timur. Pencetakan uang ORITA tersebut berfungsi
sampai Agresi Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948. Tempat
pencetakan uang ORITA ini berada di salah satu kampung Sitahuis di mana
percetakannya dipindahkan dari kota Sibolga.
Pemerintahan Negara Sumatera Timur (NST) Dan agresi militer Belanda II
Sesudah pasukan Republik mengundurkan diri dari Medan Area, pasukan Belanda berhasil menguasai 60% dari Perkebunan Ondernemingnya dan kemudian membentuk Negara Sumatera Timur (NST) yang dipimpin oleh Dr Mansyur sebagai Wali Negara NST yang berdiri selama 3 tahun sampai tanggal 17 Agustus 1950 kemudian membubarkan diri dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada tanggal 19 Desember 1948 pasukan Belanda kembali melancarkan Agresi Militer II dengan melanggar Perjanjian Renville, menerobos garis demarkasi menyerang Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Demikian juga halnya garis demarkasi di Pulau Rakyat serta menduduki Asahan-Labuhan Batu untuk menguasai kembali daerah perkebunan yang ada di daerah itu.
Perang Gerilya di Tapanuli
Sesudah pasukan Republik mengundurkan diri dari Medan Area, pasukan Belanda berhasil menguasai 60% dari Perkebunan Ondernemingnya dan kemudian membentuk Negara Sumatera Timur (NST) yang dipimpin oleh Dr Mansyur sebagai Wali Negara NST yang berdiri selama 3 tahun sampai tanggal 17 Agustus 1950 kemudian membubarkan diri dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada tanggal 19 Desember 1948 pasukan Belanda kembali melancarkan Agresi Militer II dengan melanggar Perjanjian Renville, menerobos garis demarkasi menyerang Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Demikian juga halnya garis demarkasi di Pulau Rakyat serta menduduki Asahan-Labuhan Batu untuk menguasai kembali daerah perkebunan yang ada di daerah itu.
Perang Gerilya di Tapanuli
Perlawanan
terhadap serbuan tentara Belanda ke Tapanuli dan Asahan-Labuhan Batu
mengakibatkan terjadinya perang gerilya yang didukung oleh rakyat di
bawah pimpinan Letkol AE Kawilarang. Untuk mengantisipasi serangan
Belanda ke Tapanuli dan Asahan-Labuhan Batu, Komandan Sub Terr VII
memerintahkan operasi "wingate" (penyusupan) ke daerah Sumatera Timur,
yaitu: Sektor I pimpinan Mayor Bejo dan Kapten Manaf Lubis, memasuki
daerah Asahan-Labuhan Batu, Sektor II di bawah pimpinan Mayor Liberty
Malau dan Kapten Junus Samosir, memasuki daerah Simalungun dan Deli
Serdang, Sektor III di bawah pimpinan Mayor Selamat Ginting dan Kapten
Ulung Sitepu, memasuki
daerah Tanah Karo Selatan. Operasi penyusupan tersebut sangat berhasil,
sehingga pasukan Belanda tidak lagi dapat menambah kekuatannya ke daerah
Tapanuli. Dengan masuknya pasukan Sub Terr VII ke daerah Sumatera Timur
perang gerilya berkecamuk di daerah Simalungun, Labuhan Batu dan Tanah
Karo Selatan.
Gubernur Militer Dr Ferdinan Lumban Tobing dan wakilnya Letkol AE Kawilarang memimpin Perang Rakyat Semesta
Gubernur Militer Dr Ferdinan Lumban Tobing dan wakilnya Letkol AE Kawilarang memimpin Perang Rakyat Semesta
Pada
akhir Nopember 1948, Wakil Presiden Dr M Hatta merangkap Menteri
Pertahanan menetapkan Dr Ferdinan LumbanTobing sebagai Gubernur Militer
Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan dan Wakilnya adalah Letkol AE
Kawilarang sekaligus sebagai Komandan Sub Territorium VII yang
berkedudukan di Sibolga. Di bawah kepemimpinan Dr FL Tobing dan Letkol
AE Kawilarang, perang gerilya di Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan
berlangsung sengit dan terkoordinasi dengan rapi yang didukung
sepenuhnya oleh rakyat. Pengaturan wilayah perjuangan yang terdiri atas
Sektor I, II, III, IV dan
Sektor "S" (Samudra) dan penyusunan strategi perang gerilya diTapanuli
dan Sumatera Timur benar-benar membuat Pasukan Tentara
Kerajaan Belanda
sangat kewalahan bahkan tidak dapat berkutik sama sekali. Apalagi dengan
strategi operasi wingate (penyusupan) ke daerah kekuasaan Belanda
dengan negara bonekanya Negara Sumatera Timur (NST) yang cukup luas.
Maksud Belanda untuk menguasai seluruh daerah Tapanuli dan
Asahan-
Labuhan Batu menjadi gagal total sampai dengan pengakuan
Kedaulatan tanggal 27 Desember 1949.
Selain pengaturan pasukan dalam perang gerilya, di daerah kekuasaan Belanda yaitu wilayah Negara Sumatera Timur (NST), berhasil pula dibentuk Pemerintahan Sipil untuk mengimbangi pemerintahan negara boneka Belanda (NST) yang senantiasa mendukung sepenuhnya perjuangan Perang Rakyat Semesta. Dengan demikian pasukan bersenjata dengan dukungan rakyat terjalin dengan rapi di semua lini. (Sumber:
Selain pengaturan pasukan dalam perang gerilya, di daerah kekuasaan Belanda yaitu wilayah Negara Sumatera Timur (NST), berhasil pula dibentuk Pemerintahan Sipil untuk mengimbangi pemerintahan negara boneka Belanda (NST) yang senantiasa mendukung sepenuhnya perjuangan Perang Rakyat Semesta. Dengan demikian pasukan bersenjata dengan dukungan rakyat terjalin dengan rapi di semua lini. (Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar