Sabtu, 28 April 2012

Tapanuli Ikut Berjuang

 
Pada tanggal 21 April 1947 pasukan Belanda dengan kekuatan penuh, terdiri dari
Angkatan Darat, Laut dan Udara melancarkan agresinya dengan menerobos garis demarkasi atau fixed boundaries Medan Area dengan maksud menghancurkan pasukan Republik Indonesia yang melingkari kota Medan, terdiri dari kesatuan-kesatuanTRI (Tentara Republik Indonesia) dan pasukan bersenjata Laskar Rakyat. Penyerangan yang dilakukan di semua sektor mengerahkan persenjataan modern yang dimiliki mereka seperti, pesawat pembom dan pemburu yang diterbangkan dari lapangan udara Polonia Medan, begitu juga pasukan panser dan pasukan meriam.
 
Pasukan Republik tidak mampu menahan serangan tersebut dan berangsur-angsur melakukan pengunduran, sebahagian ke daerah Aceh, sebahagian ke arah pegunungan di Langkat dan sebahagian ke Tanah Karo, sementara yang terbanyak menuju Tapanuli dan daerah Asahan-Labuhan Batu. Dalam menghadapi pasukan Belanda tersebut pasukan Republik mengalami banyak korban jiwa, terutama di front Sungai Ular disergap oleh pasukan Belanda yang mendarat dari Pantai Cermin. Selama sekira 1 bulan pasukan Republik mencoba bertahan di daerah Pematang Siantar, Simalungun dan Parapat, tetapi kemudian pasukan ini mengundurkan diri ke daerah Tapanuli Utara melalui Pulau Samosir dan sebagian mundur ke daerah Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan yang kaya akan persediaan beras.
Pencetakan Uang ORITA
 
Residen Tapanuli Dr Ferdinan LumbanTobing saat itu sangat sibuk mengurus logistik dan akomodasi untuk menampung pengungsi dari Sumatera Timur yang diperkirakan sekitar 500.000 jiwa termasuk pasukan bersenjata dari Medan Area.
 
Atas persetujuan Pemerintah Pusat, melalui Wakil Presiden Dr M Hatta, Residen Tapanuli Dr F L Tobing diberikan wewenang untuk mencetak uang yang disebut ORITA (Oeang Repoeblik Indonesia Tapanoeli). Pencetakan uang tersebut sangat membantu untuk mengatasi ekonomi rakyat dan perbelanjaan pasukan bersenjata yang tumpah ruah ke Tapanuli dari Medan Area dan Sumatera Timur. Pencetakan uang ORITA tersebut berfungsi sampai Agresi Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948. Tempat pencetakan uang ORITA ini berada di salah satu kampung Sitahuis di mana percetakannya dipindahkan dari kota Sibolga.
 
Pemerintahan Negara Sumatera Timur (NST) Dan agresi militer Belanda II
Sesudah pasukan Republik mengundurkan diri dari Medan Area, pasukan Belanda berhasil menguasai 60% dari Perkebunan Ondernemingnya dan kemudian membentuk Negara Sumatera Timur (NST) yang dipimpin oleh Dr Mansyur sebagai Wali Negara NST yang berdiri selama 3 tahun sampai tanggal 17 Agustus 1950 kemudian membubarkan diri dan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada tanggal 19 Desember 1948 pasukan Belanda kembali melancarkan Agresi Militer II dengan melanggar Perjanjian Renville, menerobos garis demarkasi menyerang Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Demikian juga halnya garis demarkasi di Pulau Rakyat serta menduduki Asahan-Labuhan Batu untuk menguasai kembali daerah perkebunan yang ada di daerah itu.
Perang Gerilya di Tapanuli
 
Perlawanan terhadap serbuan tentara Belanda ke Tapanuli dan Asahan-Labuhan Batu mengakibatkan terjadinya perang gerilya yang didukung oleh rakyat di bawah pimpinan Letkol AE Kawilarang. Untuk mengantisipasi serangan Belanda ke Tapanuli dan Asahan-Labuhan Batu, Komandan Sub Terr VII memerintahkan operasi "wingate" (penyusupan) ke daerah Sumatera Timur, yaitu: Sektor I pimpinan Mayor Bejo dan Kapten Manaf Lubis, memasuki daerah Asahan-Labuhan Batu, Sektor II di bawah pimpinan Mayor Liberty Malau dan Kapten Junus Samosir, memasuki daerah Simalungun dan Deli Serdang, Sektor III di bawah pimpinan Mayor Selamat Ginting dan Kapten Ulung Sitepu, memasuki daerah Tanah Karo Selatan. Operasi penyusupan tersebut sangat berhasil, sehingga pasukan Belanda tidak lagi dapat menambah kekuatannya ke daerah Tapanuli. Dengan masuknya pasukan Sub Terr VII ke daerah Sumatera Timur perang gerilya berkecamuk di daerah Simalungun, Labuhan Batu dan Tanah Karo Selatan.
Gubernur Militer Dr Ferdinan Lumban Tobing dan wakilnya Letkol AE Kawilarang memimpin Perang Rakyat Semesta
 
 
Pada akhir Nopember 1948, Wakil Presiden Dr M Hatta merangkap Menteri Pertahanan menetapkan Dr Ferdinan LumbanTobing sebagai Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan dan Wakilnya adalah Letkol AE Kawilarang sekaligus sebagai Komandan Sub Territorium VII yang berkedudukan di Sibolga. Di bawah kepemimpinan Dr FL Tobing dan Letkol AE Kawilarang, perang gerilya di Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan berlangsung sengit dan terkoordinasi dengan rapi yang didukung sepenuhnya oleh rakyat. Pengaturan wilayah perjuangan yang terdiri atas Sektor I, II, III, IV dan Sektor "S" (Samudra) dan penyusunan strategi perang gerilya diTapanuli dan Sumatera Timur benar-benar membuat Pasukan Tentara 
 
Kerajaan Belanda sangat kewalahan bahkan tidak dapat berkutik sama sekali. Apalagi dengan strategi operasi wingate (penyusupan) ke daerah kekuasaan Belanda dengan negara bonekanya Negara Sumatera Timur (NST) yang cukup luas. Maksud Belanda untuk menguasai seluruh daerah Tapanuli dan Asahan-
Labuhan Batu menjadi gagal total sampai dengan pengakuan Kedaulatan tanggal 27 Desember 1949.
Selain pengaturan pasukan dalam perang gerilya, di daerah kekuasaan Belanda yaitu wilayah Negara Sumatera Timur (NST), berhasil pula dibentuk Pemerintahan Sipil untuk mengimbangi pemerintahan negara boneka Belanda (NST) yang senantiasa mendukung sepenuhnya perjuangan Perang Rakyat Semesta. Dengan demikian pasukan bersenjata dengan dukungan rakyat terjalin dengan rapi di semua lini. (Sumber: 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar