Sabtu, 25 Mei 2013

Tanah Mimika Siapa Punya

Aneh Papua yang kaya akan kandungan mineral yang dikeluarkan dalam perut buminya ternyata hasilnya tidak begitu dapat dinikmati sebagian besar masyarakatnya. Inilah perjalan kami  beberapa hari tanah Papua di Mimika.
Hari pertama  Mimika, di Bandar udara Mozes Kilangin bayang-bayang kesenjangan mulai terasa, dalam perjalanan menuju hotel,sepanjang jalan  tidak melihat penduduk asli yang punya bentuk fisik dan ciri-ciri yang khas di banding dengan kebanyakan rakyat Indonesia umumnya berseliweran berjalan kaki, terlebih 
menggunaan kenderaan bermotor.  

Walau hal ini tidak bisa di jadikan tolok ukur terhadap kesenjangan sosial, setidaknya bisa menjadi analisa pemikiran, mengapa bisa demikian. Kesan penduduk asli atau pribumi tak mendominasi semakin terasa ketika BI memasuki pusat kota Mimika, yakni Timika, yang menjadi Ibukotannya kabupaten Mimika. Di kota ini nyaris masyarakat pendatang mendominasi dibanding dengan penduduk asli, baik pedagang, tukang ojek sampai penarik beca.
Dimana penduduk pribuminya dalam beraktifitas seperti masyarakat pendatang lainnya. sampai di hotel yang terbilang mewah, usai membenahi barang, ketidaksabaran dan rasa penasarana  untuk mencari  jawabaan yang masih bersarang di kepala.  Ketika  menjumpai salah seorang warga pendatang yang mendonimasi dari warga pendatang lainnya, yang mengaku sudah belasan tahun bermukim di sana.
Menurutnya, penduduk asli dalam dalam kesehariannya menjalankan aktifitasnya lebih banyak bertani dan berkebun dan berdiam di rumah menunggu hasil panen tiba. Penuturannya lagi, tak sedikit juga warga pribumi yang bekerja seperti masyarakat pendatang lainnya, warga pribumi juga ada yang bekerja di pemerintahan dan swasta, demikian juga di PT. Freeport, tetapi tidak sebanyak warga pendatang lainnya.
Rasa penasaran semakin menjadi ketika menyelusuri sudut-sudut kota Timika, jangankan aktifitas berdagang dan lainnya, yang menjadi pembeli, baik di warung, toko atau Mall hampir semuanya dipadati oleh orang-orang pendatang, lagi-lagi menimbulkan pertanyaan, ada dimana mereka para pribumi.
Ketika Kami  menyambangi pasar tradisional, kekontrasan hampir terjawab, dipasar tradisional ini sebagian besar yang berjualan penduduk pribumi, mereka menjual berbagai macam hasil bumi seperti sayur mayur, buah, rempah dan lainnya. Para penduduk pribumi dipasar ini sebagian besar menjual umbi-umbian.  
Penuturan dari warga pribumi, dari beberapa pasar terdapat pasar yang pedagangnya dari suku-suku tertentu, pembelinyanya pun berasal dari suku tertentu juga. Uniknya lagi, menurut penuturannya, pasar tersebut sengaja di buat untuk suku-sukunya namun tidak menjadi persoalan siapa yang berbelanja dipasar tersebut.
 
Kembali ke cerita warga pribumi, kesenjangan pembangun sektor pembangunan sangat terasa perbedaannya, kota Timika infrastrukturnya kurang tertata rapi, termasuk sanitasi atau drainasenya. Buruknya sistem saluran drainase terlihat ketika hujan turun, akibatnya air menggenang.
Sebagai contoh, bila kita menuju kantor Bupati Mimika kita seakan memasuki hutan belantara, kantornya yang nyaris berada di pinggir hutan itu jalan menuju pusat pemerintahannya di genangi air lagi-lagi karena buruknya sistem drainase (kabarnya sang kepala daerah jarang masuk kantor dan lebih sering melakukan aktifitas kantor di rumah pribadi).
Sungguh pemandangan yang sangat kontras, ibukota kabupaten Mimika, Timika, tidak ada apa-apanya dibanding dengan kota yang dibangun oleh pihak PT.Free Port, yakni Kuala Kencana, bila berada di kawasan ini, Kuala Kencana layaknya seperti berada di negara belahan barat (barangkali suasananya sengaja di ciptakan seperti itu). Suasana sangat kental dengan kekontrasannya, nyaris orang-orang yang berada disana yang hilir mudik bukan penduduk pribumi, kalaupun ada penduduk pribumi disana lebih banyak sebagai pekerja satuan pengaman (Satpam) dan pekerja kasar lainnya seperti tukang kebun dan pembersih.
Soal kontrasnya masalah kesenjangan yang ada di sana, yang menjadi pertanyaannya adalah, mengapa itu bisa terjadi, tidak adakah kesempatan bagi rakyat Mimika untuk hidup lebih baik lagi, setidaknya seperti para pendatang lainnya, walau bukan mesti harus bekerja di perusahaan raksasa.
Lantas dimana dan apa peran pemerintah daerahnyanya dalam memperjuangkan kesejahteraan ekonomi rakyatnya dari kemakmuran negerinya. Kesan jauh perjuangan pemerintah daerah untuk kesejahteraan rakyatnya terasa ketika Kami  turun langsung baik di kantor-kantor pemerintahan sampai ke pasar-pasar berbincang dengan penduduk pribumi, pendatang dan tokoh masyarakat.
Kembali menimbulkan kesan miris, kabupaten Mimika yang terkenal dengan hasil tambang yang disebut-sebut gunung emasnya tidak ada apanya, harusnya masyarakatnya jauh dari kesan miskin, namun ketidakadilan masih kental terlihat di masyarakat terutama masyarakat pribumi, sudah selayaknya, negeri yang makmur dengan limpahan kekayaan yang luar biasa besar di banding dengan negeri-negeri bahkan negara lain rakyatnya tidak seperti saat ini, “ Miskin ”, sedangkan kotanya tak jauh beda dengan kota-kota kebanyakan, biasa-biasa saja, mestinya kotanya jauh lebih baik bahkan wah dari kota-kota lainnya.
Kekayaan alam Mimika sudah dikeruk dan di bawa keluar 41 tahun lamanya, namun sampai kini masyarakatnya hanya bisa menjadi penonton, ada Lembaga yang harusnya menggemban amanah mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, namun bekerja tak maksimal, masih banyak kesenjangan sosial disana-sini.
Semua ini tidak terlepas dari peran pemerintah daerahnya,terlebih pemerintah pusat. Harusnya pemerintah pusat lebih tegas terhadap pihak pengelola kekayaan alam negerinya, bukan malah diam menjadi penonton, enggan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Tudingan ini bukan tidak mungkin lantaran pemerintahnya mendapat tekanan pihak lain, atau mendapat pasokan lain untuk pribadinya.  Konon ada kabar miring lain, ada dugaan bahwa perang sengaja diciptakan, selain penyediaan lokasi perang, juga secara diam-diam memasok logistik bagi kedua kubu yang berperang, logistik ini dikabarkan di pasok pada malam hari. 
Jika berbagai kemungkinan miring itu benar adanya, rakyat Mimika harus bangkit melawan kesenjangan dan ketidakadilan, jangan terlena, apalagi oleh perang saudara atau perang suku yang bisa saja adalah intrik para elite untuk sekedar pengalihan. Bersatu membangun dan memajukan daerahnya dengan meningkatkan SDM yang berlandaskan Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Jangan terjebak berbagai isu yang memecah
 
Terkait ini, Kami mencoba menjumpai orang nomor satu di kabupaten hasil tambang ini, Klemen Tinal, SE. MM di kantornyanya, namun tidak berhasil, begitu juga di rumah dinas dan pribadinya. Petugas keamanan yang  berada di rumah dinas atau lebih dikenal rumah negara menganjurkan BM ke rumah pribadinya Rumah kayu, namun tak jauh beda dengan rumah negara, dilihat dari luar, kosong, tak ada aktivitas, entah kalau didalam rumah. Ada yang unik, saat berada di kantor bupati, Tim sangat terkejut mendapati kantor bupati tidak seperti kantor pemerintah lainnya, di kantor ini nyaris tidak ada aktivitas.
Menurut kabar dari buruh bangunan yang bekerja disana saat itu menyebutkan, pukul dua belas para pegawai yang berdinas di kantor bupati sudah pada pulang, dikabarkan lagi, aktivitas kantor lebih banyak dilakukan di rumah kayu atau rumah pribadi sang bupati.
Antar rumah Nergara dan rumah pribadi bupati jaraknyanya hanya beberapa ratus meter saja. Menurut penuturan salah warga yang juga dianggap tokoh, kepada Kami  mengungkapkan. Sejak kepemimpinan bupati ini tak tak banyak yang berubah di kabupaten ini. Di kabarkan juga, selain bupati jarang masuk kantor,saat ini bupati tengah tersandung kasus karupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar