Aneh Papua yang kaya akan kandungan mineral yang dikeluarkan dalam perut
buminya ternyata hasilnya tidak begitu dapat dinikmati sebagian besar
masyarakatnya. Inilah perjalan kami beberapa
hari tanah Papua di Mimika.
Hari
pertama Mimika, di Bandar udara Mozes
Kilangin bayang-bayang kesenjangan mulai terasa, dalam perjalanan menuju
hotel,sepanjang jalan tidak
melihat penduduk asli yang punya bentuk fisik dan ciri-ciri yang khas
di banding dengan kebanyakan rakyat Indonesia umumnya berseliweran
berjalan kaki, terlebih
menggunaan kenderaan bermotor.
Walau
hal ini tidak bisa di jadikan tolok ukur terhadap kesenjangan sosial,
setidaknya bisa menjadi analisa pemikiran, mengapa bisa demikian. Kesan
penduduk asli atau pribumi tak mendominasi semakin terasa ketika BI
memasuki pusat kota Mimika, yakni Timika, yang menjadi Ibukotannya
kabupaten Mimika. Di kota ini nyaris masyarakat pendatang mendominasi
dibanding dengan penduduk asli, baik pedagang, tukang ojek sampai
penarik beca.
Dimana penduduk pribuminya dalam
beraktifitas seperti masyarakat pendatang lainnya. sampai di hotel yang
terbilang mewah, usai membenahi barang, ketidaksabaran dan rasa
penasarana untuk mencari jawabaan
yang masih bersarang di kepala. Ketika menjumpai salah seorang warga
pendatang yang mendonimasi dari warga pendatang lainnya, yang mengaku
sudah belasan tahun bermukim di sana.
Menurutnya,
penduduk asli dalam dalam kesehariannya menjalankan aktifitasnya lebih
banyak bertani dan berkebun dan berdiam di rumah menunggu hasil panen
tiba. Penuturannya lagi, tak sedikit juga warga pribumi yang bekerja
seperti masyarakat pendatang lainnya, warga pribumi juga ada yang
bekerja di pemerintahan dan swasta, demikian juga di PT. Freeport,
tetapi tidak sebanyak warga pendatang lainnya.
Rasa
penasaran semakin menjadi ketika menyelusuri sudut-sudut kota
Timika, jangankan aktifitas berdagang dan lainnya, yang menjadi pembeli,
baik di warung, toko atau Mall hampir semuanya dipadati oleh
orang-orang pendatang, lagi-lagi menimbulkan pertanyaan, ada dimana
mereka para pribumi.
Ketika Kami menyambangi pasar tradisional, kekontrasan hampir terjawab, dipasar
tradisional ini sebagian besar yang berjualan penduduk pribumi, mereka
menjual berbagai macam hasil bumi seperti sayur mayur, buah, rempah dan
lainnya. Para penduduk pribumi dipasar ini sebagian besar menjual umbi-umbian.
Penuturan
dari warga pribumi, dari beberapa pasar terdapat pasar yang pedagangnya
dari suku-suku tertentu, pembelinyanya pun berasal dari suku tertentu
juga. Uniknya lagi, menurut penuturannya, pasar tersebut sengaja di buat
untuk suku-sukunya namun tidak menjadi persoalan siapa yang berbelanja
dipasar tersebut.
Kembali
ke cerita warga pribumi, kesenjangan pembangun sektor pembangunan
sangat terasa perbedaannya, kota Timika infrastrukturnya kurang tertata
rapi, termasuk sanitasi atau drainasenya. Buruknya sistem saluran
drainase terlihat ketika hujan turun, akibatnya air menggenang.
Sebagai
contoh, bila kita menuju kantor Bupati Mimika kita seakan memasuki
hutan belantara, kantornya yang nyaris berada di pinggir hutan itu jalan
menuju pusat pemerintahannya di genangi air lagi-lagi karena buruknya
sistem drainase (kabarnya sang kepala daerah jarang masuk kantor dan
lebih sering melakukan aktifitas kantor di rumah pribadi).
Sungguh
pemandangan yang sangat kontras, ibukota kabupaten Mimika, Timika,
tidak ada apa-apanya dibanding dengan kota yang dibangun oleh pihak
PT.Free Port, yakni Kuala Kencana, bila berada di kawasan ini, Kuala
Kencana layaknya seperti berada di negara belahan barat (barangkali
suasananya sengaja di ciptakan seperti itu). Suasana sangat kental
dengan kekontrasannya, nyaris orang-orang yang berada disana yang hilir
mudik bukan penduduk pribumi, kalaupun ada penduduk pribumi disana lebih
banyak sebagai pekerja satuan pengaman (Satpam) dan pekerja kasar
lainnya seperti tukang kebun dan pembersih.
Soal
kontrasnya masalah kesenjangan yang ada di sana, yang menjadi
pertanyaannya adalah, mengapa itu bisa terjadi, tidak adakah kesempatan
bagi rakyat Mimika untuk hidup lebih baik lagi, setidaknya seperti para
pendatang lainnya, walau bukan mesti harus bekerja di perusahaan
raksasa.
Lantas
dimana dan apa peran pemerintah daerahnyanya dalam memperjuangkan
kesejahteraan ekonomi rakyatnya dari kemakmuran negerinya. Kesan jauh
perjuangan pemerintah daerah untuk kesejahteraan rakyatnya terasa ketika Kami
turun langsung baik di kantor-kantor pemerintahan sampai ke pasar-pasar
berbincang dengan penduduk pribumi, pendatang dan tokoh masyarakat.
Kembali
menimbulkan kesan miris, kabupaten Mimika yang terkenal dengan hasil
tambang yang disebut-sebut gunung emasnya tidak ada apanya, harusnya
masyarakatnya jauh dari kesan miskin, namun ketidakadilan masih kental
terlihat di masyarakat terutama masyarakat pribumi, sudah selayaknya,
negeri yang makmur dengan limpahan kekayaan yang luar biasa besar di
banding dengan negeri-negeri bahkan negara lain rakyatnya tidak seperti
saat ini, “ Miskin ”, sedangkan kotanya tak jauh beda dengan kota-kota
kebanyakan, biasa-biasa saja, mestinya kotanya jauh lebih baik bahkan
wah dari kota-kota lainnya.
Kekayaan
alam Mimika sudah dikeruk dan di bawa keluar 41 tahun lamanya, namun
sampai kini masyarakatnya hanya bisa menjadi penonton, ada Lembaga yang
harusnya menggemban amanah mengelola pembangunan dan meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya, namun bekerja tak maksimal, masih banyak
kesenjangan sosial disana-sini.
Semua
ini tidak terlepas dari peran pemerintah daerahnya,terlebih pemerintah
pusat. Harusnya pemerintah pusat lebih tegas terhadap pihak pengelola
kekayaan alam negerinya, bukan malah diam menjadi penonton, enggan
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Tudingan ini bukan tidak mungkin
lantaran pemerintahnya mendapat tekanan pihak lain, atau mendapat
pasokan lain untuk pribadinya. Konon
ada kabar miring lain, ada dugaan bahwa perang sengaja diciptakan,
selain penyediaan lokasi perang, juga secara diam-diam memasok logistik
bagi kedua kubu yang berperang, logistik ini dikabarkan di pasok pada
malam hari.
Jika
berbagai kemungkinan miring itu benar adanya, rakyat Mimika harus
bangkit melawan kesenjangan dan ketidakadilan, jangan terlena, apalagi
oleh perang saudara atau perang suku yang bisa saja adalah intrik para
elite untuk sekedar pengalihan. Bersatu membangun dan memajukan
daerahnya dengan meningkatkan SDM yang berlandaskan Bhineka Tunggal Ika
dan NKRI. Jangan terjebak berbagai isu yang memecah
Terkait ini, Kami mencoba menjumpai orang nomor satu di kabupaten hasil tambang ini,
Klemen Tinal, SE. MM di kantornyanya, namun tidak berhasil, begitu juga
di rumah dinas dan pribadinya. Petugas keamanan yang berada
di rumah dinas atau lebih dikenal rumah negara menganjurkan BM ke rumah
pribadinya Rumah kayu, namun tak jauh beda dengan rumah negara, dilihat
dari luar, kosong, tak ada aktivitas, entah kalau didalam rumah. Ada
yang unik, saat berada di kantor bupati, Tim sangat terkejut mendapati
kantor bupati tidak seperti kantor pemerintah lainnya, di kantor ini
nyaris tidak ada aktivitas.
Menurut
kabar dari buruh bangunan yang bekerja disana saat itu menyebutkan,
pukul dua belas para pegawai yang berdinas di kantor bupati sudah pada
pulang, dikabarkan lagi, aktivitas kantor lebih banyak dilakukan di
rumah kayu atau rumah pribadi sang bupati.
Antar
rumah Nergara dan rumah pribadi bupati jaraknyanya hanya beberapa ratus
meter saja. Menurut penuturan salah warga yang juga dianggap tokoh,
kepada Kami
mengungkapkan. Sejak kepemimpinan bupati ini tak tak banyak yang
berubah di kabupaten ini. Di kabarkan juga, selain bupati jarang masuk
kantor,saat ini bupati tengah tersandung kasus karupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar